paket pengalaman local bahasa indonesia что это

Omicron: Apa yang harus saya lakukan bila terkena Covid?

paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Смотреть фото paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Смотреть картинку paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Картинка про paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Фото paket pengalaman local bahasa indonesia что это

Sumber gambar, Getty Images

Jadi Anda tertular Covid. Sekarang bagaimana?

Satu hal yang sudah jelas, menjauhlah dari orang lain supaya tidak menularkannya kepada mereka.

Terkait kesehatan Anda sendiri, inilah yang direkomendasikan oleh para ahli.

Beritahu keluarga dan teman-teman

Jangan menderita dalam diam. Beri tahu orang lain bahwa Anda terkena Covid. Mereka mungkin dapat membantu membawakan makanan ke depan pintu Anda dan menghubungi Anda untuk mengecek keadaan Anda.

Di banyak negara ada sukarelawan yang mungkin dapat membantu saat Anda isolasi mandiri di rumah, untuk urusan-urusan seperti berbelanja dan mengumpulkan obat-obatan.

Beristirahatlah

Bahkan dengan varian virus yang lebih baru seperti Omicron dan Delta, kebanyakan orang akan mengalami gejala ringan atau tanpa gejala dan akan dapat melalui masa infeksi dengan aman di dalam rumah.

Gejala utama, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), belum berubah dengan adanya varian baru. Mereka adalah:

Namun para peneliti yang telah mendata pengalaman ratusan ribu orang dengan Covid mendapati bahwa lima gejalanya yang paling sering dirasakan mirip dengan pilek:

Jika Anda merasa tidak enak badan, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan.

Banyak istirahat, minum banyak air, dan minum parasetamol atau ibuprofen dapat membantu Anda merasa lebih nyaman.

Bila batuk terus-menerus, cobalah berbaring di sisi Anda atau duduk tegak daripada berbaring terlentang.

Duduk, alih-alih berbaring, juga baik jika Anda sedikit kesulitan bernapas.

Anda juga dapat mencoba:

Beberapa orang barangkali sudah memiliki (atau ingin membeli) gawai yang disebut oksimeter yang dapat memeriksa tingkat oksigen dalam darah.

Ini dapat menjadi pengukuran yang berguna, seperti halnya mengecek suhu tubuh Anda dengan termometer.

Rendahnya kadar oksigen dalam darah bisa menjadi tanda bahwa kondisi Anda semakin buruk.

Pembacaan 95 ke atas adalah normal. Jika turun ke 93 atau 94 dan tetap seperti itu satu jam kemudian, hubungi dokter Anda untuk meminta saran.

Jika angkanya 92 ke bawah (pada perangkat yang disertifikasi dengan tanda CE dan Anda menggunakannnya sesuai instruksi), pergilah ke rumah sakit atau hubungi ambulans.

Ketahui kapan harus mendapatkan bantuan

Jika Anda ingin beberapa saran tambahan, Anda bisa mencoba menelepon atau menghubungi apotek secara online. Situs web WHO juga punya banyak informasi tentang Covid.

Beberapa orang dengan Covid akan membutuhkan perawatan medis, yang mungkin termasuk rawat inap di rumah sakit.

Layanan kesehatan di beberapa negara juga menawarkan beberapa pasien berisiko tinggi pil yang dapat mereka bawa di rumah untuk membantu mengurangi risiko infeksi mereka menjadi lebih serius.

Kementerian Kesehatan RI telah membuat layanan telemedisin, yang dapat diakses di sini.

Konsultasilah ke dokter keluarga Anda jika:

Segera pergi ke rumah sakit, atau hubungi ambulans, jika:

Anda dapat mengecek ketersediaan tempat tidur di rumah sakit menggunakan Sistem Informasi Rawat Inap (SIRANAP) Kementerian Kesehatan.

Setiap daerah punya nomor yang bisa dihubungi untuk layanan darurat Covid. Cek situs web satgas Covid daerah Anda.

Jika Anda mengkhawatirkan bayi atau anak, jangan menunda meminta bantuan. Jika mereka tampak sangat tidak sehat, kondisinya semakin buruk, atau Anda pikir ada sesuatu yang salah, hubungi ambulans.

Источник

Begini Pengalamanku Melakukan Aborsi Secara Mandiri di Indonesia

Empat tahun lalu, aku melakukan aborsi secara mandiri di kamar indekos. Aku melakoninya ditemani pasanganku, orang yang bertanggung jawab «menanam benih» dalam rahimku. Saat itu, aku menggunakan obat aborsi yang kubeli sendiri melalui transaksi online.

Keputusan mengakhiri kehamilanku tidak mudah. Saat pertama kali melihat dengan mata kepala sendiri hasil testpack dengan dua garis merah itu, aku tahu duniaku bakal berubah selama-lamanya. Tapi aku tahu pilihan harus diambil. Jujur saja, aborsi adalah pilihan akhir, tapi bukan pilihan pertamaku.

Setelah positif hamil, aku segera melakukan konsultasi dengan menelepon hotline khusus yang memang membantu menangani kasus-kasus kehamilan tidak direncanakan (KTD) seperti ini. Setelah menangis seharian sambil melakukan riset-riset yang diperlukan, akhirnya aku memberanikan diri untuk menelepon hotline tersebut. Aku ingin tahu, tersedia pilihan apa saja untuk hidupku dan hidup si calon janin di masa depan.

Suara laki-laki menyapaku ramah. Ia menanyakan siapa namaku, apa keluhanku, dan bertanya balik kira-kira apakah ada yang ingin aku tanyakan. Semua hal yang dia utarakan hanya mengonfirmasi apa yang sebelumnya sudah kudapatkan dari hasil riset pribadiku di internet.

Ia memberitahu kalau aku punya setidaknya tiga pilihan. Pertama, tetap melanjutkan kehamilanku dan merawat bayiku kelak. Aku tidak bisa mengambil pilihan ini, karena aku merasa belum pantas menjadi orang tua. Pilihan kedua yang ia beritahu adalah aku bisa meneruskan kehamilan ini dan memberikan anakku kelak pada orang yang ingin mengadopsi. Pilihan ini tentu saja tidak aku ambil karena menurutku sistem adopsi di Indonesia tergolong rumit dan tidak bisa menjamin anakku baik-baik saja kelak. Pilihan terakhir adalah melakukan aborsi. Setelah menimbang-nimbang, aku memantabkan diri, mengambil opsi paling menyakitkan itu. Aku berbincang lama bersama pasangan, sehari sebelum kami sepakat melakukan tindakan aborsi. Waktu itu usia kehamilanku memasuki minggu keenam. Masih cukup awal dan menurut kajian ilmiah masih cukup aman jika ingin melakukan aborsi medis menggunakan obat-obatan.

Menurut Women Help Women, waktu terbaik melakukan aborsi medis adalah sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu. Di atas itu, tidak dianjurkan menggunakan konsumsi pil atau dengan bantuan tenaga klinis terkait. Selama ini, dikenal dua metode aborsi medis. Cara pertama adalah menggunakan kombo dua jenis obat, sedangkan yang satu lagi hanya menggunakan satu jenis obat saja.

Misoprostol dan mifepristone. Itu nama dua obat yang membantuku mengeliminasi kehamilanku. Harganya lebih terjangkau dibanding harus pergi ke klinik-klinik aborsi ilegal di beberapa tempat, yang biasanya mematok harga mahal. Lagipula, sudah menjadi rahasia umum bila resiko tinggi mengancam jika nekat melakukan aborsi melalui klinik-klinik aborsi ilegal tersebut.

Aku lalu melakukan pembelian obat aborsi setelah browsing beberapa saat di Internet. Aku bertanya pada dua toko sekaligus buat membandingkan harga. Jujur saja, aku memilih toko yang menjual harga termurah. Cukup mengisi nama dan alamat tujuan, transfer sejumlah uang sesuai perjanjian, transaksi pembelian obat aborsi medis tuntas. Tak sampai seminggu, obat aborsi medis pesananku datang dalam bungkus cokelat. Label “baju” tertulis pada bungkus paket. Pil pesananku ditempel di sebuah karton dan diselipkan di dalam bungkusan kain yang datang bersama paket tersebut.

Kalau tidak salah ingat, layanan yang diberikan oleh online shop itu ada dua macam. Satu disebut “paket miso”, berisi 12 butir misoprostol dan dijual dengan harga Rp400 ribu. Pilihan lain adalah paket kombo seharga Rp600 ribu untuk empat buah misoprostol dan satu butir mifepristone. Aku memilih paket yang kedua, karena ingin memastikan prosesnya berjalan lancar.

Tonton dokumenter VICE menyoroti proses bedah untuk mengobati korban praktik khitan perempuan:

Masih menurut Women Help Women, kombinasi penggunaan Mifepristone dan Misoprostol memiliki tingkat efektivitas hingga 98 persen. Sementara dengan menggunakan misoprostol saja tingak efektivitas sebesar 84 persen. Sebetulnya keduanya sama-sama memiliki persentase efektivitas yang tinggi dan aman. Tapi aku memilih kombinasi yang pertama karena ingin merasa lebih tenang dan yakin keberhasilannya akan tinggi. Aku memilih percaya pada keterangan tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat mengeluarkan panduan melakukan tindakan aborsi aman. WHO merekomendasikan penggunaan misoprostol dan mifepristone sebagai cara paling disarankan buat mengeliminasi kehamilan. Menurut International Women’s Health Coalition, jutaan perempuan di dunia telah melakukan aborsi aman dengan metode medis ini, sejak pertama kali mifepristone diperkenalkan pada akhir dekade 1980-an.

Berdasarkan petunjuk Women Help Women, mifepristone idealnya diminum 24 jam sebelum tindakan aborsi dilakukan. Aku mengonsumsi obat tersebut dan tidak merasakan efek samping apapun. Fungsi obat ini menghentikan hormon yang penting selama perkembangan di masa kehamilan. Mifepristone juga membantu uterus lebih reseptif terhadap misoprostol. Sedangkan fungsi obat yang kedua, misoprostol, adalah memicu timbulnya kontraksi pada uterus dan mendorong keluar jaringan kehamilan.

Aku lalu pergi menonton film di bioskop demi menghilangkan kecemasan yang kurasakan setelah menenggak obat pertama. Percuma. Kepalaku tetap penuh pikiran. Malamnya, aku berbincang dengan «cangkang» yang mulai terbentuk di dalam rahimku ini. Aku meminta maaf padanya dan mengatakan aku belum siap menjadi orang tua. Kubilang, «semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan, tapi tidak sekarang.» Aku menangis dan akhirnya tertidur kelelahan.

Setelah 24 jam berlalu, aku menyiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk memulai prosesnya. Beberapa hal yang kusiapkan di antaranya pembalut dan kompres hangat. Aku mengikuti petunjuk pemakaian dan menaruh empat buah misoprostol di bawah lidahku dan membiarkannya larut. Rasanya hambar sekali, seperti kapur. Tiga puluh menit berlalu dan aku masih belum merasakan apapun.

Sesudah tiga jam, baru terasa efeknya. Perutku rasanya melilit tidak karuan. Rasanya lebih parah dari sakit menstruasi yang biasa aku alami. Mau bagaimanapun posisi duduk dan tidur yang aku cari, rasa sakit melilit itu tetap kurasakan. Aku berusaha mencari distraksi dengan nonton film dan serial yang membuat tertawa. Hasilnya nihil.

Pasanganku sabar menemani dan membantu semua kebutuhanku. Aku menahan sakit sambil menggenggam tangannya dan sempat berpikir menyerah saja. Padahal aku tahu tidak ada yang bisa dilakukan, toh obatnya terlanjur dikonsumsi.

Setelah beberapa jam sakit makin menghebat. Aku lantas lari ke kamar mandi karena tidak tahan lagi. Entah apa yang kucari atau ingin kulakukan saat itu tapi instingku bilang aku harus ke kamar mandi. Dengan perut masih melilit aku terduduk lemas di toilet. Saat itulah, gumpalan merah besar keluar. Aku lalu menekan tombol flush dan keluar dari kamar mandi. Perlahan-lahan rasa sakit yang kurasakan mereda, hingga akhirnya hilang sama sekali. Aku tidak ingin merasakan perasaan dan sakit seperti itu lagi.

Stigma negatif terhadap aborsi masih sangat besar di Indonesia. Akses-akses perempuan terhadap fasilitas kesehatan khusus untuk aborsi aman masih terbatas, apalagi kalau kita belum menikah. Hasilnya, klinik-klinik aborsi ilegal dan penjualan obat aborsi ada di mana-mana. Penjualan obat ini pun beragam, mulai dari yang palsu dan memakan banyak korban hingga yang terpercaya dan akhirnya bisa membantu perempuan-perempuan sepertiku yang ingin mengalami kehamilan tanpa direncanakan. Aku beruntung berhasil menemukan penjual online yang menyediakan obat aborsi sungguhan. Tapi, bagaimana dengan banyak perempuan lainnya, yang tidak seberuntung aku?

Berjuta Hambatan Saat Kalian Belum Nikah Tapi Mau Beli Pil Pencegah Kehamilan Legal

Empat tahun sudah berlalu sejak aku melakukan tindakan aborsi mandiri. Selama itu pula beberapa teman perempuanku mengalami hal yang sama datang kepadaku. Mereka meminta saran. Aku memberitahu mereka semua yang kutahu. Mulai dari hasil pencarianku di Internet dulu, semua risikonya, hotline KTD ini, hingga tempat pembelian misoprostol dan mifepristone yang terpercaya. Sisanya, kuserahkan pada mereka.

Satu hal yang pasti, aku tidak pernah menyesal. Karena ini adalah jalan terbaik yang bisa kuambil demi kebaikan semua.

*Penulis menggunakan pseudonim untuk melindungi privasinya

Источник

Omicron: Apa yang harus saya lakukan bila terkena Covid?

paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Смотреть фото paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Смотреть картинку paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Картинка про paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Фото paket pengalaman local bahasa indonesia что это

Sumber gambar, Getty Images

Jadi Anda tertular Covid. Sekarang bagaimana?

Satu hal yang sudah jelas, menjauhlah dari orang lain supaya tidak menularkannya kepada mereka.

Terkait kesehatan Anda sendiri, inilah yang direkomendasikan oleh para ahli.

Beritahu keluarga dan teman-teman

Jangan menderita dalam diam. Beri tahu orang lain bahwa Anda terkena Covid. Mereka mungkin dapat membantu membawakan makanan ke depan pintu Anda dan menghubungi Anda untuk mengecek keadaan Anda.

Di banyak negara ada sukarelawan yang mungkin dapat membantu saat Anda isolasi mandiri di rumah, untuk urusan-urusan seperti berbelanja dan mengumpulkan obat-obatan.

Beristirahatlah

Bahkan dengan varian virus yang lebih baru seperti Omicron dan Delta, kebanyakan orang akan mengalami gejala ringan atau tanpa gejala dan akan dapat melalui masa infeksi dengan aman di dalam rumah.

Gejala utama, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), belum berubah dengan adanya varian baru. Mereka adalah:

Namun para peneliti yang telah mendata pengalaman ratusan ribu orang dengan Covid mendapati bahwa lima gejalanya yang paling sering dirasakan mirip dengan pilek:

Jika Anda merasa tidak enak badan, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan.

Banyak istirahat, minum banyak air, dan minum parasetamol atau ibuprofen dapat membantu Anda merasa lebih nyaman.

Bila batuk terus-menerus, cobalah berbaring di sisi Anda atau duduk tegak daripada berbaring terlentang.

Duduk, alih-alih berbaring, juga baik jika Anda sedikit kesulitan bernapas.

Anda juga dapat mencoba:

Beberapa orang barangkali sudah memiliki (atau ingin membeli) gawai yang disebut oksimeter yang dapat memeriksa tingkat oksigen dalam darah.

Ini dapat menjadi pengukuran yang berguna, seperti halnya mengecek suhu tubuh Anda dengan termometer.

Rendahnya kadar oksigen dalam darah bisa menjadi tanda bahwa kondisi Anda semakin buruk.

Pembacaan 95 ke atas adalah normal. Jika turun ke 93 atau 94 dan tetap seperti itu satu jam kemudian, hubungi dokter Anda untuk meminta saran.

Jika angkanya 92 ke bawah (pada perangkat yang disertifikasi dengan tanda CE dan Anda menggunakannnya sesuai instruksi), pergilah ke rumah sakit atau hubungi ambulans.

Ketahui kapan harus mendapatkan bantuan

Jika Anda ingin beberapa saran tambahan, Anda bisa mencoba menelepon atau menghubungi apotek secara online. Situs web WHO juga punya banyak informasi tentang Covid.

Beberapa orang dengan Covid akan membutuhkan perawatan medis, yang mungkin termasuk rawat inap di rumah sakit.

Layanan kesehatan di beberapa negara juga menawarkan beberapa pasien berisiko tinggi pil yang dapat mereka bawa di rumah untuk membantu mengurangi risiko infeksi mereka menjadi lebih serius.

Kementerian Kesehatan RI telah membuat layanan telemedisin, yang dapat diakses di sini.

Konsultasilah ke dokter keluarga Anda jika:

Segera pergi ke rumah sakit, atau hubungi ambulans, jika:

Anda dapat mengecek ketersediaan tempat tidur di rumah sakit menggunakan Sistem Informasi Rawat Inap (SIRANAP) Kementerian Kesehatan.

Setiap daerah punya nomor yang bisa dihubungi untuk layanan darurat Covid. Cek situs web satgas Covid daerah Anda.

Jika Anda mengkhawatirkan bayi atau anak, jangan menunda meminta bantuan. Jika mereka tampak sangat tidak sehat, kondisinya semakin buruk, atau Anda pikir ada sesuatu yang salah, hubungi ambulans.

Источник

paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Смотреть фото paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Смотреть картинку paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Картинка про paket pengalaman local bahasa indonesia что это. Фото paket pengalaman local bahasa indonesia что это

Sumber gambar, Bettmann/Getty Images

Insiden di Universitas Res Publika, Jakarta, Oktober 1965.

Peristiwa 30 September 1965 berdampak panjang bagi warga Tionghoa di Indonesia, baik bagi mereka yang mengalaminya sendiri maupun keturunan mereka.

«Saya sempat benci dengan papa saya sendiri. Karena saya pikir PKI jahat. Papa saya dipenjara, berarti papa saya itu jahat, pantas dipenjara. Saya percaya semua itu karena stigma,» kata Soe Tjen Marching, peneliti dan pengajar di University of London.

Tak hanya pengalamannya sendiri, ketika melakukan riset untuk penelitiannya mengenai peristiwa 1965, Dr Soe Tjen Marching menemukan banyak korban dan keluarga korban yang masih trauma.

«Selama ini yang disebut korban hanya tapol, padahal anak dan cucunya pun masih trauma. Seringkali mereka masih stres, masih ingat apa yang terjadi, masih berdampak,» kata Soe Tjen.

Dia menjelaskan bahwa stigma terhadap korban 1965 masih sangat kuat sehingga banyak orang yang masih enggan atau takut bicara. (Apa yang terjadi di 65? Baca kronologi berikut.)

«Etnis Tionghoa pun tertutupnya bukan main. Pada saya sendiri mereka tertutup, padahal bisa dibilang saya etnis Tionghoa juga, tapi mereka nggak mau cerita,» kata penulis buku The End of Silence, Accounts of the 1965 genocide in Indonesia ini.

Sumber gambar, Soe Tjen Marching

Soe Tjen Marching, penulis buku Dari Dalam Kubur.

Beberapa orang bersedia bercerita, tapi tidak ingin cerita itu diterbitkan. Atau, boleh diterbitkan tapi dengan beberapa bagian yang tetap menjadi rahasia, kata Soe Tjen.

«Kalau orang-orang bilang pemerkosaan massal itu kan pasti ingetnya Mei 98, padahal tahun 65 sudah ada, tapi jarang diceritakan, jarang diangkat dalam novel fiksi.

«Padahal ini penting, karena itu saya ceritakan bahwa ada pemerkosaan di sana-sini di novel saya. Ini diperkosa, itu diperkosa, pemerkosaan massal itu ada pada tahun 65,» kata dia.

Agar tetap dapat menuliskan cerita-cerita itu, Soe Tjen memutuskan untuk menuliskannya sebagai buku fiksi, dengan karakter fiksi namun berdasarkan pada kejadian-kejadian yang terjadi pada beberapa orang. Buku itu diterbitkan dengan judul » Dari Dalam Kubur«.

G30S: Perempuan penyintas 65 dan napak tilas pengasingan di Kamp Plantungan

Soe Tjen sendiri berasal dari keluarga keturunan Tionghoa yang sudah bercampur baur dengan Jawa.

Ayah Soe Tjen ditahan karena menjadi pengurus Partai Komunis Indonesia di Surabaya.

«Papa saya tapol, disiksa habis-habisan juga,» kata dia. «Papa saya dibebaskan begitu saja setelah 3 tahun, tapi ya sempat disiksa sampai hancur. Penyiksaannya dari 65, yang sadis-sadisnya sampai 67-68.»

Ketika kecil, Soe Tjen tidak mengetahui secara lengkap kisah ayahnya sebagai tapol karena dia lahir saat ayahnya sudah keluar dari penjara. Karena kuatnya stigma kepada tapol, Soe Tjen sempat percaya bahwa ayahnya ‘jahat’.

«Padahal, kalau dipikir-pikir, papa saya ini nyolong enggak, bunuh orang enggak, cuma ikut organisasi lalu dipenjara, disiksa melebihi pembunuh,» kata Soe Tjen.

Sumber gambar, Soe Tjen Marching

BBC Indonesia mengudara pada Pukul 05.00 dan 06.00 WIB, Senin sampai Jumat

Akhir dari Podcast

Untuk menghindari stigma dan trauma, ayah Soe Tjen kemudian mengganti identitasnya. Latar belakang keluarga ini salah satu yang membuatnya tertarik untuk meneliti mengenai kejadian 1965.

Soe Tjen menyebut, etnis Tionghoa menjadi korban propaganda militer karena pada saat itu mereka diasosiasikan sebagai komunis di balik Peristiwa 65.

«Setelah itu, di masa Orde Baru ada peraturan-peraturan yang melarang mereka menggunakan bahasa Mandarin, melarang mereka menggunakan nama China mereka,» kata dia.

Dalam buku Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Frans Winarta menghitung setidaknya ada 64 aturan Orde Baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, dari aspek sosial budaya seperti melarang sekolah China, hingga penerapan SKBRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) pada warga keturunan Tionghoa.

«Ketika Orde Baru lengser, Presiden Gus Dur mencabut aturan-aturan ini. Tapi yang tertinggal adalah banyak generasi muda beretnis Tionghoa tercerabut dari identitasnya,» kata Soe Tjen.

Dihardik ketika menyebut kata Tionghoa

Oei Hiem Hwie, 85 tahun, adalah wartawan keturunan Tionghoa yang dijadikan tahanan politik pada 1965.

Keterlibatannya di Baperki juga menjadi salah satu penyebab penangkapannya. Baperki adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi massa yang bertujuan menentang diskriminasi berdasarkan keturunan seseorang.

Sumber gambar, BBC Indonesia

Oei Hiem Hwie ketika ditemui di perpustakaannya di Surabaya, September 2021.

Tujuan itulah yang membuat Hwie tertarik bergabung, hingga menjadi sekretaris Baperki Malang.

«Di kepala dan hati saya tertanam perjuangan melawan diskriminasi, bagaimana berintegrasi dengan rakyat Indonesia dan berjuang bersama-sama mewujudkan tatanan sosialisme,» kata Hwie dalam memoarnya yang berjudul «Dari Pulau Buru sampai Medayu Agung«.

Organisasi ini awalnya bernama Baperwatt, atau Badan Permusyawaratan Warganegara Keturunan Tionghoa. Namun nama ini dinilai membatasi keanggotaan pada golongan Tionghoa saja. Maka, Baperwatt diubah menjadi Baperki, dan anggotanya bukan hanya warga Tionghoa.

«Baperki dianggap underbouw PKI, padahal bukan, lain. Akibatnya banyak orang Baperki ditangkap dan banyak yang ditahan di Buru,» kata Oei Hiem Hwie kepada BBC saat ditemui di perpustakaannya di Surabaya.

Saskie Wieringa, seorang profesor di Universitas Amsterdam, menjelaskan bahwa Baperki adalah kelompok kiri, namun tidak ada afiliasi formal dengan PKI.

«Baperki memang kelompok kiri, tapi lebih dekat dengan Soekarno, betul-betul pendukung Soekarno,» kata Saskia.

Akibat Peristiwa 1965, Baperki ditutup, para pendiri dan anggotanya banyak yang dikirim ke penjara atau mengalami penghilangan paksa. Universitas Res Publika yang diinisiasi oleh Baperki pun turut menjadi korban penyerangan hingga akhirnya dibekukan. (Liat foto di bagian paling atas).

Hwie pun dipenjara selama 13 tahun tanpa pengadilan, hingga dibuang ke Pulau Buru.

Sumber gambar, Davies Surya

Sebagai keturunan Tionghoa pada masa itu, menjadi warga negara Indonesia bukan hal yang otomatis terjadi.

Karena ayahnya adalah warga negara China, meskipun lahir dan besar di Indonesia, Hwie mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hingga muncul aturan baru pada tahun 50-an, bahwa warga keturunan Tionghoa harus memilih untuk menjadi WNI atau warga negara Tiongkok.

Hwie memutuskan menjadi warga negara Indonesia karena pilihannya sendiri.

Awalnya, Hwie sempat ingin tetap mempertahankan kewarganegaraan tanah leluhurnya. Namun setelah pertimbangan yang masak, dia resmi memilih menjadi WNI.

Namun negara yang dia pilih itu justru membawanya ke penjara.

Sumber gambar, BBC News Indonesia

Surat pembebasan Hwie dari Pulau Buru.

Dalam memoarnya, Hwie menceritakan bahwa selama ditahan, dia sering mendapat perlakuan rasis. «Para interogator tak segan menghardik dan berlaku keras bila ada tapol menyebut «Tionghoa» dan bukan «Cina»,» katanya.

Hwie pun diminta mengganti nama Tionghoanya menjadi nama Indonesia, namun dia menolak. Ketika dipaksa, akhirnya dia mengatakan pada interogatornya, «Terserah Bapak, kalau mau ganti, ganti saja».

Petugas yang menginterogasinya bertanya, ganti nama apa? Hwie menjawab, ‘Mergo Dipekso». Artinya, karena dipaksa.

Beberapa waktu setelah percakapan tersebut, Hwie pun dikirim untuk menjadi tahanan di Pulau Buru.

«Setelah 65, diskriminasi [pada warga keturunan Tionghoa] semakin buruk lagi,» kata Hwie.

Dihubungi secara terpisah, Profesor Saskia Wieringa dari Universitas Amsterdam, sependapat dengan pernyataan Hwie.

Saskia menjelaskan bahwa sejak masa kolonial sudah ada penindasan terhadap etnis China. Setelah 65, diskriminasi tersebut semakin kuat. «Memang sesudah 65, etnis menjadi lebih penting,» kata Saskia.

Dampak luas dan jangka panjang

Tragedi 1965 tak hanya berdampak pada mereka yang mengalaminya secara langsung, tapi juga kepada komunitas Tionghoa secara luas.

«Dampak untuk warga Tionghoa lebih ke penderitaan politik dan dan kultural pasca 65,» kata Dr Evi Lina Sutrisno, peneliti dan pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.

Evi menjelaskan bahwa warga keturunan Tionghoa sejatinya bukan sasaran utama pada 1965.

«Tionghoa memang terdampak akibat kejadian 1965, bukan sasaran utama seperti halnya Mei 1998, itu berbeda,» kata Evi yang mendapatkan gelar doktornya dari University of Washington, AS.

Dia mengutip tulisan sejarawan Robert Cribb dan Charles Coppel yang memperkirakan ada sekitar dua ribu warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban pembantaian massal pada 1965.

Jumlah ini tidak terlalu masif dibandingkan dengan mereka yang memang teridentifikasi atau dituduh ‘komunis’. Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa pembunuhan massal pada 1965 telah menewaskan setidaknya setengah juta orang.

«Untuk warga Tionghoa pada periode geger 65-67 atau lebih itu, ada kerusuhan, perampasan tanah, rumah, toko, penjarahan, terjadi di beberapa tempat, di Bali, sepanjang Sumatera khususnya Aceh.

«Di Makassar tercatat ada pemerkosaan dan penganiayaan kepada Tionghoa. Bukan perkosaan massal seperti Mei 98, tapi terjadi di beberapa tempat, ada yang menyerang dan ada yang memperkosa,» kata Evi.

Menurutnya, kedekatan Soekarno dan RRT yang komunis memberikan kesan bahwa warga Tionghoa lebih dekat terpapar ideologi komunisme.

Sumber gambar, Bettmann

Presiden Soekarno dan pemimpin China Mao Zedong di China, 1954.

«Padahal pada kenyataannya, tak banyak yang paham komunismenya itu gimana, karena banyak orang Tionghoa yang sudah tidak memiliki afiliasi dengan keluarga di Tiongkok,» kata Evi.

Akibat peristiwa 65, cukup banyak juga warga Tionghoa yang melarikan diri ke luar negeri. Ada yang ke China, maupun negara lain, seperti Jerman dan Belanda.

Kemudian, dia menjelaskan bahwa pada setelah 1965 terbit berbagai aturan yang memberangus ke-Tionghoaan, termasuk instruksi presiden tahun 1967.

«Tionghoa harus berasimilasi, tidak boleh punya sekolah, organisasi atau media, partai apalagi. Tidak boleh merayakan hari raya budaya di hadapan publik, untuk mendorong Tionghoa lebih cepat membaur pada identitas kebangsaan Indonesia,» kata Evi.

Pemberangusan ini juga berdampak pada agama Konghucu dan para penganutnya. Hal ini, menurut Evi, sangat ironis, sebab awalnya Presiden Soeharto sangat mendukung kelompok agama untuk mengurangi pengaruh komunisme. Setelah 65, awalnya agama Konghucu tidak mengalami tekanan apa-apa.

Namun pada tahun 1978, Presiden Soeharto mengumumkan melalui sidang kabinet bahwa Konghucu bukan agama dan dianggap aliran kepercayaan di bawah Buddha.

Pada tahun 1982 muncul SKB tiga menteri yang mendorong agar kelenteng berubah menjadi wihara atau tempat ibadah Tri Dharma di bawah Buddha.

Источник

Добавить комментарий

Ваш адрес email не будет опубликован. Обязательные поля помечены *